Apa Itu Zakat Maal?
Zakat mal adalah zakat yang diperoleh dari kekayaan umat Islam dan diperoleh dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam. Seseorang dikatakan wajib zakat bila harta yang dimiliki telah lebih dari satu tahun dan jumlah harta telah melebihi nishab (85 gram emas).
Hukum wajibnya berzakat bagi orang mampu tertuang pada QS. at-Taubah ayat 103:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dan QS. at-Taubah ayat 34:
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِۙ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ
“..... Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah, berikanlah kabar ‘gembira’ kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.”
Zakat Uang di Era Modern
Berbeda dengan zaman Rasulullah, di zaman ini alat tukar tidak lagi menggunakan emas dan perak, melainkan menggunakan uang kertas. Oleh karena itu, nishab uang kertas diqiyaskan kepada emas dan perak selaku alat tukar di zaman Rasulullah.
Misalnya jika harga emas saat ini Rp923.000,-/gram, maka nishab zakat senilai Rp78,455,000,-. Sehingga orang yang telah memiliki uang lebih dari nishab tersebut selama 1 tahun maka wajib mengeluarkan 2.5% untuk dizakati. Tidak hanya dengan uang, di zaman sekarang zakat mal juga dapat diambil dari surat berharga seperti saham dan obligasi syariah atau sukuk.
Zakat Saham dan Surat Berharga
Saham adalah surat berharga yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki bagian tertentu dari keuntungan dan aset perusahaan. Sedangkan obligasi syariah atau sukuk adalah surat berharga jangka panjang yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yang diberikan oleh emiten kepada investor, yang dikenal sebagai pemegang obligasi. Pada saat jatuh tempo, emiten diharuskan untuk membayar investor dengan pendapatan yang berupa hasil, marjin, atau biaya, serta membayar kembali dana investasi.
Secara praktis instrumen seperti saham dan obligasi belum ada pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Mereka hanya berdagang komoditas barang riil seperti yang terjadi di pasar biasa. Pada masa itu, pengakuan kepemilikan sebuah perusahaan (syirkah) belum diwakili dalam bentuk saham seperti saat ini. Akan tetapi di zaman modern ini para ulama sepakat bahwa zakat mal dapat ditarik melalui surat berharga.
Yusuf al-Qaradhawir mengemukakan dua pendapat tentang apakah saham harus dizakat atau tidak. "Pertama, jika perusahaan itu bukan perusahaan perdagangan atau industri murni, maka sahamnya tidak perlu dizakati. Contohnya perusahaan seperti hotel, biro perjalanan, transportasi darat, laut, dan udara, hal ini dikarenakan saham-saham dari perusahaan seperti ini terletak pada alat-alat, gedung, perlengkapan serta sarana dan prasarana lainnya. Sehingga keuntungan dari saham tersebut dimasukan ke harta pemilik saham dan dikeluarkan untuk zakat bersama dengan harta-harta lainnya. Kedua, Jika perusahaan adalah perusahaan dagang murni yang hanya membeli dan menjual barang tanpa melakukan proses pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil industri, perusahaan ekspor-impor, atau perusahaan dagang internasional, maka sahamnya harus dikenakan zakat. Hal ini juga berlaku bagi perusahaan industri dan dagang seperti perusahaan yang mengimpor bahan mentah untuk diolah dan dijual sendiri, misalnya seperti perusahaan minyak, perusahaan pemintalan kapas dan sutera, perusahaan besi dan baja, serta perusahaan lainnya."
Abdurrahman Isa menyatakan, "Kriteria yang diperlukan untuk perusahaan untuk diwajibkan zakat adalah bahwa perusahaan harus melakukan kegiatan dagang, terlepas dari apakah mereka terlibat dalam kegiatan industri atau tidak."
Beberapa ulama juga ikut berpendapat, karena saham dan obligasi adalah harta yang dapat diperjualbelikan, pemilik saham juga memperoleh keuntungan dari hasil penjualan mereka, seperti halnya barang dagangan pada umumnya. Oleh karena itu, obligasi dan saham termasuk ke dalam kategori barang dagangan dan sekaligus merupakan objek zakat.
Cara Menghitung Zakat Saham dan Obligasi Syariah
Untuk menghitung zakat pada saham dan obligasi, gunakan rumus berikut:
Zakat = 2.5% × (Capital Gain + Dividen) 2,5% x (Capital Gain + Dividen)
Contoh Perhitungan:
jika seseorang memiliki saham senilai Rp. 100.000.000, kemudian di akhir tahun mendapatkan deviden atau keuntungan sebesar Rp. 5.000.000, maka ia harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen dari Rp. 105.000.000 atau Rp. 2.625.000.
Ditulis oleh Raihan Rabani as-Shidiq, Mahasiswa Universitas Brawijaya.
Daftar Pustaka:
“Apa Itu Zakat Mal? Ini Syarat dan Macam-macamnya.” Bank Mega Syariah, 10 January 2024, https://www.megasyariah.co.id/id/artikel/edukasi-tips/donasi-dan-amal/zakat-mal. Accessed 12 September 2024.
Ayu, Rizki Dewi. “Apa Itu Saham? Berikut Pengertian, Fungsi, dan Tipe-tipe Investornya.” Koran TEMPO, 1 January 2024, https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/486443/apa-itu-saham-berikut-pengertian-fungsi-dan-tipe-tipe-investornya. Accessed 13 September 2024.
“Direktori Putusan.” Direktori Putusan, https://putusan3.mahkamahagung.go.id/peraturan/detail/11eaf0390d42c3a0877e313930343031.html. Accessed 13 September 2024.
Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam perekonomian modern. Gema Insani, 2002. Accessed 13 September 2024.
Huda, Nurul, et al. “ZAKAT DALAM PENDEKATAN KONTEMPORER.” Jumal Pro Bisnis, vol. 5, no. 01, 2012, pp. 1-22. Probisnis(e-journal), https://ejournal.amikompurwokerto.ac.id/index.php/probisnis/article/view/314. Accessed 13 September 2024.
Qardawi, M. Yusuf. Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status Dan Filsafat Zakat Berdasarkan Quran Dan Hadis. Pustaka Litera Antarnusa, 1996. Accessed 13 September 2024.
“Zakat dan Sedekah Saham.” BAZNAS, https://baznas.go.id/zakatsaham. Accessed 13 September 2024.