Zakat merupakan
salah satu rukun Islam yang memiliki peran penting dalam sistem ekonomi Islam.
Di Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, zakat
tidak hanya berfungsi sebagai kewajiban ibadah ritual, tetapi juga sebagai
instrumen pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dalam kerangka sistem ekonomi Islam,
zakat menjadi salah satu pilar utama yang meneguhkan prinsip keadilan,
solidaritas sosial, dan distribusi kekayaan yang merata.
Sistem ekonomi
Islam mengandalkan tiga pilar utama, yaitu zakat , infaq , dan shodaqoh
. Dari ketiganya, zakat memiliki karakteristik tersendiri karena bersifat
wajib dan diatur secara syariat dengan nisab serta kadar tertentu. Zakat
dikelola secara institusional melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) maupun
lembaga amil zakat seperti GIS Peduli di tingkat provinsi. Data BAZNAS tahun
2023 menyebutkan bahwa potensi zakat nasional mencapai Rp467 triliun per tahun,
namun realisasi pengumpulan baru sekitar 3–5%, menunjukkan masih banyaknya
potensi yang bisa digali.
Dalam konteks
ekonomi makro, zakat berperan untuk mengurangi kesenjangan antara golongan
mampu dan tidak mampu. Berbeda dengan pajak yang sifatnya sekuler dan dipungut
oleh negara, zakat adalah kewajiban moral-religius yang langsung ditujukan
untuk membantu golongan mustahik sesuai delapan asnaf yang telah ditetapkan
dalam Al-Quran Surat At-Taubah ayat 60. Hal ini menjadikan zakat sebagai alat
redistribusi pendapatan yang efektif dan berbasis syariah.
Dalam konteks
indikator mikro merujuk pada perubahan konkret dan terukur dalam kehidupan
mustahik secara langsung, seperti: peningkatan pendapatan harian, penurunan
beban pengeluaran, naiknya akses terhadap pendidikan dan kesehatan, peningkatan
kepemilikan aset produktif, hingga perubahan pola pikir dan daya juang ekonomi.
Indikator inilah yang sesungguhnya mencerminkan “nyawa” dari sebuah program
zakat produktif.
Zakat harus
ditransformasikan dari sekadar pemberian konsumtif menjadi intervensi strategis
yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup. Misalnya, zakat yang diberikan
dalam bentuk modal usaha tani kecil, ternak, atau pelatihan keterampilan, akan
berdampak besar jika mustahik dapat meningkatkan pendapatan dan perlahan-lahan
melepaskan diri dari jebakan bantuan.
Di Jawa Barat,
GIS Peduli sebagai lembaga pengelola zakat di tingkat provinsi, terus
berinovasi dalam pengelolaan zakat agar lebih inklusif dan berdampak luas.
Selain program distribusi zakat untuk fakir miskin, GIS Peduli juga menjalankan
program pemberdayaan ekonomi, seperti pelatihan keterampilan dan bantuan modal
usaha bagi kelompok produktif. Inisiatif ini selaras dengan prinsip ekonomi
Islam yang tidak hanya memberi ikan, tetapi juga mengajarkan cara memancing.
Di perdesaan,
terutama sektor pertanian dan ekonomi informal, zakat bisa menjadi jembatan
untuk mengatasi ketimpangan struktural. Zakat memungkinkan para petani
penggarap, buruh tani, dan pekerja informal lainnya mengakses sarana produksi,
pelatihan, dan bahkan pasar, yang selama ini jauh dari jangkauan mereka. Ketika
perubahan mikro ini terjadi di banyak titik, ia akan membentuk arus
transformasi sosial yang lebih luas.
Selain itu,
perkembangan teknologi digital turut memperluas cakupan pengelolaan zakat.
Masyarakat semakin mudah berzakat melalui platform digital yang transparan dan
terpercaya. Hal ini meningkatkan partisipasi publik sekaligus mendukung
optimalisasi pemanfaatan zakat sebagai motor penggerak perekonomian umat.
Dengan segala
potensi dan manfaatnya, zakat harus dipandang bukan hanya sebagai kewajiban
individu, tetapi juga sebagai solusi struktural atas tantangan ekonomi bangsa.
Melalui pengelolaan zakat yang profesional dan berbasis data, Indonesia
memiliki peluang besar untuk mewujudkan sistem ekonomi yang lebih adil dan
sejahtera sesuai nilai-nilai Islam.
Sumber: Sigit Iko