Dalam
ajaran Islam, utang adalah urusan yang sangat serius dan tidak bisa dianggap
remeh. Seseorang yang berutang memiliki
kewajiban penuh untuk melunasinya, dan pelunasan tersebut harus dilakukan segera ketika sudah memiliki kemampuan.
Menunda-nunda pelunasan utang padahal sudah mampu dianggap sebagai perbuatan
zalim.
“Penundaan
pelunasan hutang oleh orang yang mampu adalah sebuah kezaliman, maka jika
hutang kalian ditanggung oleh orang lain yang mampu maka setujuilah” (HR.
Bukhari no.2287).
Sumber: https://muslim.or.id/68043-hadits-hadits-tentang-bahaya-hutang.html
Lalu
bagaimana jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki utang?
Apakah tanggungan itu ikut berakhir? Jawabannya tidak. Utang tetap menjadi kewajiban yang harus diselesaikan,
bahkan setelah seseorang meninggal dunia.
Jika
orang yang berutang meninggal dunia, maka utangnya
tidak otomatis gugur. Islam mengajarkan bahwa utang harus dibayarkan terlebih dahulu dari harta peninggalannya,
sebelum warisan dibagikan kepada ahli waris.
“...(Pembagian-pembagian
tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) hutangnya.”
(QS.
An-Nisa:11)
Ini menunjukkan bahwa pelunasan utang
mendahului pembagian warisan.
Harta peninggalan (warisan) almarhum harus digunakan terlebih dahulu untuk
melunasi utang-utang almarhum, sebelum dibagikan kepada ahli waris.
Jika harta peninggalan tidak cukup atau tidak ada
sama sekali, maka:
●
Ahli
waris tidak diwajibkan membayar
utang tersebut dengan harta pribadi.
● Namun, jika ahli waris sukarela melunasi dari hartanya
sendiri, hal itu sangat dianjurkan
sebagai bentuk bakti kepada orang tua atau anggota keluarga yang telah
meninggal.
Dalam hukum positif Indonesia, hal ini juga diatur,
baik dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata):
Warisan seseorang yang meninggal digunakan terlebih
dahulu untuk melunasi utang-utang almarhum sebelum diwariskan kepada ahli
waris.
Ahli waris secara otomatis menerima semua hak dan
kewajiban (termasuk utang) dari pewaris.
Namun ada batasannya…
Ahli waris tidak wajib membayar utang pewaris melebihi nilai warisan yang diterima.
Bahkan, mereka bisa melepaskan diri dari kewajiban membayar dengan cara:
●
Menyerahkan
semua harta warisan kepada para kreditur.
●
Memisahkan
harta pribadi dari harta peninggalan.
● Menolak warisan jika tidak ingin
menanggung utang yang lebih besar dari harta yang diwariskan.
Dengan kata lain, ahli waris hanya bertanggung jawab sebesar nilai warisan, dan tidak lebih dari itu.
dari hadits-hadits tersebut kita menjadi
tahu pentingnya untuk menyelesaikan utang terlebih dahulu.
Rasulullah sangat menekankan pentingnya menyelesaikan
utang, bahkan terhadap orang yang sudah wafat.
"Ruh
seorang mukmin tergantung oleh utangnya sampai utangnya dilunasi."
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
"Seorang
yang mati syahid akan diampuni semua dosa-dosanya kecuali utangnya."
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa bahkan mati syahid pun tidak bisa menghapus utang. Maka dari itu,
utang adalah perkara yang sangat besar dan harus diselesaikan dengan
sungguh-sungguh.
Menyelesaikan utang adalah kewajiban yang sangat
penting, bahkan setelah seseorang meninggal dunia. Maka dari itu:
●
📝 Bagi yang masih hidup, biasakan
mencatat utang dan memberitahu keluarga agar mudah dilacak jika terjadi
sesuatu.
●
🤲 Bagi keluarga yang ditinggalkan,
segeralah menyelesaikan utang almarhum dari harta peninggalan.
● ❤️
Jika tidak ada harta, dan kamu memiliki kemampuan, bantulah melunasinya sebagai
amal kebaikan.
Utang bukan hanya persoalan dunia, tetapi juga
tanggungan akhirat. Menyelesaikan utang orang yang wafat adalah bentuk bakti
yang akan membawa pahala dan keberkahan, serta menjadi sebab Allah meringankan
beban almarhum di alam kubur dan akhirat kelak.
Semoga Allah memberikan kita kemampuan untuk menjaga
amanah, dan memberi kelapangan kepada kita dalam membayar dan membantu utang
sesama. Aamiin.