Wakaf adalah instrumen dalam filantropi yang sudah
diterapkan sejak zaman Rasulullah. Beliau dan sahabat mewakafkan sejumlah
hartanya yang bersumber dari fai’.
Selain itu, Umar juga mewakafkan sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan
umat Islam (Bukhari, 1422: 3/198) dan Utsman membeli sumur Rumah dan
mewakafkannya untuk
memenuhi kebutuhan air kaum muslimin.(Bukhari, 1422: 4/13).
Di Indonesia, wakaf merupakan salah satu sumber pendanaan
penting bagi umat. Banyak masjid dan pesantren yang berdiri di atas lahan
wakaf. Selain itu, wakaf memiliki potensi besar dalam membantu pengentasan
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan,
karena aset wakaf bersifat jangka panjang dan tidak terbatas oleh waktu.
Pengertian Wakaf
Secara etimologis, istilah wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf. Menurut Ibn Faris, kata al-waqf memiliki makna dasar tamakkuts fî syai’, yang berarti
"berhenti". Selain itu, beberapa ahli bahasa mengungkapkan bahwa al-waqf juga bermakna al-habs yang berarti
"menahan". Di sisi lain, al-waqf
juga bermakna al-man'u atau
"mencegah", sebagaimana dalam ungkapan waqaftu ar-rajula ‘an asy-syai’ yang berarti "saya mencegah
seseorang dari sesuatu"
Makna-makna ini — berhenti, menahan, dan mencegah itu
berkaitan erat dengan konsep wakaf dalam istilah syariat. Disebut
"menahan" atau "mencegah" karena aset wakaf dijaga dari
kerusakan, penjualan, atau penggunaan yang bertentangan dengan tujuan wakaf.
Sementara itu, hasil dari aset wakaf juga dialokasikan khusus untuk penerima
manfaat yang sah, dan tidak boleh disalurkan kepada pihak lain. Sedangkan
disebut "berhenti" karena kepemilikan atas aset tersebut berhenti —
tidak bisa dipindahtangankan atau diwariskan kepada siapapun.
Adapun secara terminologi wakaf didefinisikan secara beragam
oleh para ulama. Menurut ulama Madzhab Hanafi, wakaf adalah menahan harta
dengan menjadikannya sebagai milik Allah (keluar dari kepemilikan pribadi) dan
menyalurkan manfaatnya kepada pihak yang diinginkan wakif. Menurut ulama
Madzhab Syafi’i, wakaf adalah penahanan
harta yang bisa diambil manfaatnya, dengan tetap menjaga
keutuhan substansi harta tersebut, dan melepaskannya dari penguasaan wakif
(kepemilikan pribadi), untuk disalurkan manfaatnya di jalan yang dibolehkan
syara’. menurut ulama Madzhab Maliki definisi wakaf adalah memberikan manfaat
harta, selama harta tersebut masih ada wujudnya, dan status
kepemilikannya tetap berada di tangan wakif.
Secara terminologi, wakaf dipahami sebagai tindakan menahan
atau menjaga suatu harta agar manfaatnya dapat digunakan untuk kepentingan yang
dibenarkan syariat, sambil tetap mempertahankan keutuhan hartanya. Meskipun ada
sedikit perbedaan di antara madzhab, inti dari konsep wakaf adalah melepaskan
hak kepemilikan pribadi atas manfaat harta tersebut, baik dengan memindahkan
kepemilikan penuh kepada Allah (Madzhab Hanafi dan Syafi’i), atau tetap dalam
kepemilikan wakif namun manfaatnya disalurkan untuk kebaikan umum (Madzhab
Maliki).
Landasan Hukum Wakaf
Kesunnahan wakaf didukung oleh
dalil-dalil syariat, baik dari al-Qur'an, Sunnah, maupun Ijma’, yang
menunjukkan adanya anjuran untuk berwakaf. Berikut ini disajikan penjelasan
terkait dalil-dalil syariat tersebut.
a. Dalil dari al-Qur'an
Meskipun al-Qur'an tidak secara eksplisit menyebutkan perintah wakaf, dan
istilah al-waqf sendiri tidak
ditemukan dalam ayat-ayatnya, banyak ayat yang mengisyaratkan pentingnya
berbagi, berderma, dan berbuat baik kepada sesama. Berikut merupakan
terma-terma dalam Al-Qur’an mengenai wakaf:
Istilah an-nafaqah
adalah yang paling sering digunakan dalam al-Qur'an untuk mendorong umat Islam
berderma di jalan kebaikan sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah. Salah
satu ayat yang memuat istilah ini adalah QS. Ali Imran ayat 92:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا
تُحِبُّوْنَۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ٩٢
Artinya: "Kamu tidak akan pernah mencapai kebajikan yang sempurna hingga
kamu menginfakkan sebagian dari harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu
infakkan, sungguh Allah Maha Mengetahui." (QS. Ali Imran/3: 92)
Al-Qur’an menggunakan terma ini tentang
beramal secara sukarela kepada fakir miskin yang termasuk di dalamnya shadaqah
dan wakaf. Istilah ini terdapat dalam QS. Al-Hadid:18:
اِنَّ الْمُصَّدِّقِيْنَ وَالْمُصَّدِّقٰتِ
وَاَقْرَضُوا اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا يُّضٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ اَجْرٌ كَرِيْمٌ ١٨
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah, baik
laki-laki maupun perempuan, dan meminjamkan (kepada) Allah pinjaman yang baik,
akan dilipatgandakan (balasannya) kepada mereka dan baginya (diberikan)
ganjaran yang sangat mulia (surga).”
Pada
terma ini meliputi segala perbuatan baik yang dianjurkan oleh agama dan
mencakup wakaf dan amal kedermawanan lainnya. Istilah ini terdapat
dalam QS. Al-Hajj ayat 77:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا
وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَۚ ۩ ٧٧
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah,
sujudlah, sembahlah Tuhanmu, dan lakukanlah kebaikan agar kamu beruntung”
b.
Dalil Sunnah
Terdapat sejumlah hadis yang menjelaskan wakaf
secara khusus dan jelas. Berikut ini terma-terma Sunnah yang menunjukkan secara
khusus legalitas wakaf dalam Islam:
Menahan
harta dimaksudkan agar harta digunakan secara terus-menerus dalam jalan
kebaikan. Dalam terma ini terdapat hadist tentang wakaf yang dilakukan oleh
Umar pada masa Nabi yaitu:
“Dari
Ibnu Umar, ia berkata, “Umar mendapatkan (bagian rampasan perang) sebidang
tanah di Khaibar. Lalu Umar menemui Rasulullah untuk meminta petunjuk beliau
(terkait pemanfaatan tanah tersebut). Lantas Umar berkata, “Wahai Rasulullah,
saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Saya belum pernah mendapatkan harta
sebaik itu. Maka apa yang engkau perintahkan kepadaku (perihal tanah
tersebut)?” Rasulullah bersabda, “Jika engkau menghendaki, tahan (wakafkan)
pokok tanah itu, dan sedekahkan
(hasilnya)!” Ibnu Umar berkata, “Umar kemudian menyedekahkan apa yang
dihasilkan tanah itu. Sementara
pokoknya
tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkannya
kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil,
dan tamu. Bagi orang
yang
mengelola tanah tersebut diperkenankan makan dari hasilnya dengan cara yang
baik (sepantasnya), dan boleh juga memberi makan orang lain dengan tidak
bermaksud menumpuk harta.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]. (Bukhari, 1422: 3/198).
(Muslim, t.th.:
3/1255).
Terma
ini terdapat dalam hadis yang sama, yaitu hadis Umar tentang wakaf. Berikut
hadist riwayat Al-Bukhari yang artinya:
“Sedekahkanlah (wakafkanlah) pokoknya,
sehingga tidak diperjualbelikan, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan, hanya
saja didermakan hasilnya. [HR. al- Bukhari]. (Bukhari, 1422: 4/10).”
Melalui
wakaf, Islam mengajarkan pentingnya membangun kesejahteraan sosial dengan
semangat keberlanjutan. Wakaf bukan hanya soal sedekah sesaat, tetapi investasi
amal jangka panjang yang dampaknya bisa terasa hingga generasi-generasi
berikutnya. Di masa sekarang, pengelolaan wakaf bahkan tidak hanya untuk
pembangunan masjid dan pesantren, tetapi sudah berkembang untuk mendukung
pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat.