Artikel
Hukum Wakaf Bangunan atau Tanah yang Masih Kredit
LAZGIS Peduli
18 September 2025
Hukum Wakaf Bangunan atau Tanah yang Masih Kredit

Wakaf adalah salah satu amalan filantropi Islam yang sangat dianjurkan. Praktik ini tidak hanya mendatangkan pahala yang terus mengalir bagi pewakaf, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan ekonomi, muncul berbagai pertanyaan seputar objek wakaf, salah satunya adalah tentang hukum mewakafkan aset seperti bangunan atau tanah yang masih dalam status kredit. Apakah aset yang masih terikat utang bisa diwakafkan? Bagaimana hukumnya menurut syariat Islam? Artikel ini akan mengupas tuntas permasalahan ini, didukung oleh dalil-dalil shahih dan pandangan para ulama kontemporer.

Memahami Konsep Wakaf dan Status Harta yang Diwakafkan

Secara bahasa, wakaf (وَقْف) berarti menahan atau menghentikan. Dalam terminologi syariat, wakaf adalah menahan suatu harta yang dapat diambil manfaatnya, di mana zat atau bendanya tetap ada, lalu disalurkan manfaatnya untuk kepentingan umum atau untuk tujuan kebaikan. Harta yang diwakafkan disebut mauquf (مَوْقُوف).

Syarat-syarat harta yang diwakafkan (mauquf) adalah sebagai berikut:

  • Harta tersebut adalah milik penuh pewakaf. Pewakaf harus memiliki kepemilikan yang sah atas harta yang akan diwakafkan. Ini adalah syarat dasar yang disepakati oleh mayoritas ulama.
  • Harta tersebut adalah harta yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Misalnya, tanah, bangunan, atau aset produktif lainnya.
  • Harta tersebut tidak terikat dengan hak orang lain. Artinya, harta tersebut bebas dari utang, jaminan (agunan), atau sengketa kepemilikan.

Dalil-dalil wakaf sangat banyak, di antaranya firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 267, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu..."

Ayat ini secara umum menganjurkan berinfak dari harta yang baik dan halal, yang juga menjadi landasan bagi praktik wakaf. Hadis Rasulullah SAW juga memperkuat anjuran ini. Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa Umar bin Khattab RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang tanah di Khaibar yang ia miliki. Umar berkata: "Ya Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar, saya tidak pernah mendapatkan harta yang lebih berharga bagi saya daripadanya, maka apa yang Anda perintahkan kepadaku?" Rasulullah SAW menjawab:

"Jika engkau mau, engkau tahan pokoknya dan engkau sedekahkan hasilnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi dasar utama bagi hukum wakaf, di mana pokok harta (tanah) tidak boleh dijual atau dihibahkan, sementara hasilnya (manfaatnya) disedekahkan.

Hukum Wakaf Bangunan atau Tanah yang Masih Kredit

Berangkat dari syarat-syarat di atas, para ulama fiqih kontemporer memiliki pandangan yang jelas mengenai wakaf aset yang masih dalam masa kredit. Aset yang dibeli secara kredit, baik itu tanah atau bangunan, pada dasarnya masih terikat dengan utang kepada pihak pemberi pinjaman, baik itu bank syariah, lembaga pembiayaan, atau individu.

Dalam akad kredit, kepemilikan penuh belum berpindah sepenuhnya kepada pembeli sampai seluruh cicilan lunas. Meskipun pembeli telah menempati atau menguasai aset tersebut, statusnya masih merupakan agunan atau jaminan bagi utang yang belum lunas.

Para ulama, termasuk yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga fatwa internasional lainnya, pada umumnya bersepakat bahwa hukum mewakafkan bangunan atau tanah yang masih kredit adalah tidak sah atau tidak diperbolehkan.

Alasan utama di balik hukum ini adalah karena aset tersebut belum menjadi milik penuh dan bebas dari ikatan utang. Wakaf mensyaratkan harta yang diwakafkan adalah milik penuh (milk tam) pewakaf. Selama masih ada cicilan yang harus dibayar, hak kepemilikan pemberi kredit (misalnya bank) masih melekat pada aset tersebut. Jika cicilan tidak dibayar, pihak pemberi kredit memiliki hak untuk menyita atau menjual aset tersebut untuk melunasi utang.

Jika aset tersebut diwakafkan, hal ini akan menimbulkan potensi masalah di masa depan, yaitu:

  1. Potensi Sengketa: Sengketa dapat terjadi antara pihak pengelola wakaf (nazhir) dengan pihak pemberi kredit jika cicilan tidak dilunasi.
  2. Ketidakpastian Status Wakaf: Jika aset tersebut pada akhirnya disita karena gagal bayar, maka wakaf tersebut menjadi batal, padahal tujuan wakaf adalah keberlangsungan manfaat selamanya.
  3. Tidak Memenuhi Syarat Milik Penuh: Harta yang masih terikat utang tidak memenuhi syarat sebagai harta yang bisa diwakafkan secara sah karena masih ada hak pihak lain di dalamnya.

Para ulama berpendapat bahwa wakaf adalah transaksi yang sangat mulia dan harus dilakukan dengan cara yang paling bersih dan bebas dari keraguan. Mewakafkan harta yang masih terikat utang justru berpotensi menimbulkan masalah dan tidak memenuhi esensi dari wakaf itu sendiri, yaitu menahan pokok harta secara permanen.

Solusi dan Alternatif yang Dibolehkan

Meskipun mewakafkan aset yang masih kredit tidak diperbolehkan, ada beberapa solusi atau alternatif yang dapat dilakukan:

  1. Menunggu Sampai Kredit Lunas: Pewakaf dapat menunggu hingga seluruh cicilan utang lunas dan sertifikat kepemilikan sudah di tangan, baru kemudian mewakafkan aset tersebut. Ini adalah cara yang paling aman dan sesuai syariat.
  2. Membayar Percepatan Kredit (Pelunasan Dini): Jika memiliki dana, pewakaf bisa melunasi sisa utang kredit terlebih dahulu. Setelah sertifikat atau surat kepemilikan sudah bebas dari agunan, aset tersebut bisa diwakafkan.
  3. Wakaf Uang atau Wakaf Produktif: Jika niat untuk berwakaf sudah kuat tetapi asetnya belum lunas, pewakaf bisa mengarahkan niatnya pada wakaf uang atau wakaf produktif lainnya. Pewakaf dapat menyalurkan dana sebesar nilai aset yang ingin diwakafkan (atau sebagiannya) kepada nazhir yang terpercaya untuk dikelola dalam program wakaf produktif. Hasil dari pengelolaan dana tersebut dapat digunakan untuk membeli tanah atau membangun aset wakaf yang sah. Ini adalah solusi modern yang sangat relevan.

Di era digital, pencarian mengenai "wakaf tanah kredit" atau "hukum wakaf bangunan bank" menjadi semakin sering. Data dari Google Trends menunjukkan peningkatan signifikan dalam pencarian kata kunci terkait hukum-hukum muamalah kontemporer. Kata kunci seperti "hukum wakaf kredit," "wakaf cicilan," dan "syarat wakaf" memiliki potensi besar untuk menarik audiens yang mencari informasi.

Berdasarkan dalil-dalil syariat dan pandangan para ulama, hukum mewakafkan bangunan atau tanah yang masih dalam masa kredit adalah tidak sah. Harta wakaf haruslah milik penuh pewakaf, bebas dari utang dan ikatan hak orang lain. Wakaf adalah amalan yang sangat mulia, dan niat baik harus disempurnakan dengan cara yang benar sesuai dengan ketentuan syariat.

Bagi Anda yang berkeinginan untuk berwakaf, penting untuk memastikan bahwa harta yang akan diwakafkan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Jika aset Anda masih dalam status kredit, pertimbangkanlah untuk melunasinya terlebih dahulu atau beralih pada bentuk wakaf lain seperti wakaf uang yang dapat memberikan manfaat yang sama besar dan bahkan lebih fleksibel. Dengan demikian, niat baik Anda untuk berwakaf dapat terlaksana secara sempurna, membawa keberkahan bagi Anda dan manfaat yang berkelanjutan bagi umat.

GIS Peduli mengajak Anda untuk terus berbagi dan berbuat kebaikan. Jadikanlah harta Anda sebagai jembatan menuju surga melalui wakaf yang sah dan berkah.

Bagikan artikel ini
Artikel Terkait